May Day : Antara Pengusaha, Buruh dan Harga Keringatnya
-M. Zainul Asror-
social development and walfare – UGM
“Berikanlah upah pekerja sebelum kering keringatnya” (Al-Hadist)
Mungkin merupakan sebuah tradisi setiap tanggal 1 Mei atau yang lazim disebut “May Day” Menjadi ajang aksi besar-besaran turun ke jalan dilakukan oleh para buruh untuk menyampaikan aspirasi terkait tuntutan hak-hak yang harus dipenuhi kepada mereka oleh para pengusaha. Namun entah apa yang salah setiap aksi yang dilakukan selalu berakhir rusuh sehingga menimbulkan korban itu yang terjadi dan selau berulang setiap tahunnya. Muncul pertanyaan Apakah penyampaian aspirasi hanya dengan jalan seperti itu? kalau masih ada jalan lain, kenapa lantas memilih ‘cedera’ sebagai harga untuk sebuah tuntutan?
Permasalahan buruh dan pengusaha seperti tiada akhirnya, selalu menemui jalan buntu yang tidak jarang berujung konflik. Sebenarnya jika kita lebih jernih melihat masalahnya sederhana. Di satu sisi buruh ingin mendapatkan upah sesuai dengan beban kerja yang dijalankan dan mungkin ada beberapa tunjangan seperti asuransi kesehatan dan sebagainya. Sementara dari pihak pengusaha tentu ingin mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari hasil usaha. Untuk mendapatkan keuntungan, salah satu jalan tentu dengan menekan sampai seminimal mungkin beban produksi meliputi harga bahan baku, biaya operasional termasuk didalamnya upah buruh.
Tarik ulur kepentingan antara pengusaha yang memberikan upah rendah untuk mendapatkan untung besar dan tuntutan buruh untuk mendapat kesejahteraan tersebut yang sering berakibat aksi protes buruh kepada pengusaha. Solusi dari pemerintah dengan merancang undang-undang buruh untuk mengatur dan mengakomodasi hak-hak yang harus diterima para buruh sebagai bentuk penghargaan, termasuk dengan penetapan standar upah minumum UMK/UMR. Namun undang-ungang tersebut masih jarang dipatuhi oleh para pengusaha dengan alasan yang sama bahwa beban produksi yang besar mengakibatkan perusahaan merugi, maka gaji atau upah karyawan harus dipangkas tentu jauh dibawah standar UMK/UMR.
Selain itu juga secara kondisi pengusaha yang menjadi pihak super-ordinat, memiliki kuasa penuh untuk mengambil keputusan, dan seringkali keputusan yang diambil selalu merugikan buruh. Banyak perusahaan yang melakukan eksploitasi terhadap buruh tanpa peduli bahwa para buruh bekerja untuk melangsungkan kehidupan keluarganya. Sebagai pihak sub-ordinat buruh tentu tidak kuasa untuk melakukan tuntutan apa-apa, karena perusahaan kapanpun dapat melakukan PHK dan mereka kehilangan sumber penghidupan.
Bagi mereka satu-satunya jalan untuk melakukan tuntutan, konsep yang digagas oleh Karl Marx adalah memunculkan kesadaran kelas bahwa buruh atau kaum proletar juga memiliki power yang luar biasa besar jika membentuk suatu perkumpulan buruh dan melakukan gerakan. Maka bermunculan berbagai serikat buruh yang mulai berani menyampaikan tuntutan, melakukan gerakan protes jika mengalami ketidakadilan sampai pada ritual tahunan May Day yang digerakkan secara massal dan masif.
Tentu bukan menjadi pilihan yang bijak jika pada akhirnya akan berujung pada sebuah bentrok fisik yang menimbulkan korban dan pengrusakan berbagai fasilitas kerja perusahaan. Karena akan melahirkan kerugian pada kedua belah pihak.
Membangun Relationship Mutualisme antara buruh dan pengusaha
Jika dicermati lebih jelas permasalahan diatas, saya meyakini itu akan mudah diatasi dengan sebaik-baiknya tanpa ada pihak yang harus dikorbankan. Dengan permasalahan yang sudah jelas tentang keuntungan usaha dan kesejahteraan buruh, hubungan akan terjalin baik seandainya dari kedua pihak bisa saling memahami dan mulai membangun sebuah komitmen kerja yang didasarkan pada hubungan saling menguntungkan (Relationship Mutualisme).
Selama ini hubungan yang dibangun antara pengusaha dan buruh seperti besifat parasit (saling merugikan). Pandangan seperti ini yang dilestarikan dan akhirnya membentuk suatu pola persaingan antara pengusaha dan buruh. Kondisi seperti ini menimbulkan munculnya “permainan-permainan” dari kedua pihak, dalam proses kerja usaha. Pengusaha melakukan eksploitasi, pengekangan, intervensi, pemaksaan dan sejenisnya kepada para buruh. Sementara itu buruh yang kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi maka akan melakukan penyimpangan dan ketidak jujuran dalam bekerja. Hal inilah yang kemudian melahirkan iklim kerja yang tidak sehat yang tentu akan mengganggu proses produksi sehingga hasil kerja menjadi tidak maksimal dan kembali akan menimbulkan kerugian bagi pengusaha pun juga bagi para buruh.
Hal berbeda tentu akan diperoleh jika sejak awal antara pengusaha dan buruh membangun komitmen kerja yang dilandaskan pada relationship mutualisme (hubungan kerja saling menguntungkan). Pengusaha menyadari bahwa untuk mendapatkan output atau hasil kerja yang maksimal maka kesejahteraan buruh harus menjadi prioritas utama, karena jika buruh sudah sejahtera semua kebutuhan pokoknya tercapai maka mereka akan menyumbangkan energi maksimal dan bertanggung jawab terhadap pekerjaannya dan sebaliknya. Begitu pula Buruh harus menyadari bahwa hak untuk memperolah kesejahteraan tentu akan tercapai jika telah tuntas melaksanakan kewajiban kerja dengan sebaik-baiknya, tidak lantas kerja belum beres lalu menuntut kesejahteraan.
Dan bagi para pengusaha dalam menjalankan usaha hendaknya memahami konsep kepemimpinan. Salah satu yang penting adalah strategi kepemimpinan “Stick and Carrot”. Stick yang artinya tongkat menjadi simbol hukuman bagi buruh yang melakukan kesalahan, dan Carrot atau wortel dikonotasikan sebagai hadiah bagi buruh yang memiliki prestasi kerja yang bagus.