Regenerasi NW : Membuka Ruang Partisipasi Jamaah
-M. Zainul Asror-
social development and walfare – UGM
Usia hampir se-abad bukanlah waktu yang singkat dalam perjalanan hidup sebuah organisasi kemasyarakatan. Masa yang panjang itu tentu menjadi bukti bahwa organisasi tersebut telah berhasil memutar roda-rodanya untuk tetap konsisten berjalan mencapai tujuannya. Setiap komponen di dalamnya memiliki fungsi tersendiri yang terus bekerjasama menjaga ritme perjalanan organisasi itu. Jika semua komponen masih kuat bekerja maka perjalanan organisasi akan berjalan lancar dan stabil. Sebaliknya jika ada satu saja komponen yang rusak dan tidak bekerja maka akan menggangu bahkan menghambat laju organisasi, atau organisasi bisa tetap bergerak tetapi dengan langkah yang terseok-seok.
Begitu sedikit gambaran yang bisa direkam memandang Nahdlatul Wathan (NW) di usia ke-81, jika dibandingkan dengan dua saudara tuanya NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah. Perbedaan usia lebih muda sekitar 25 tahun ternyata menyebabkan terpaut jurang yang sangat lebar dalam perkembangan organisasi. Padahal secara rentang waktu, 25 tahun bukanlah masa yang panjang untuk bisa lebih maju atau setidaknya dapat berdiri sejajar dengan saudaranya yang lain. Nahdlatul Wathan sebagai sebuah organisasi kemasyarakatan islam masih bisa terus mempertahankan eksistensinya namun dengan langkah yang susah payah. Artinya NW masih tertinggal sangat jauh dalam perkembangan banyak bidang.
Visi yang diusung NW dengan gerakan “pendidikan, sosial, dan dakwah” secara riil belum bisa menampakkan hasil yang signifikan. Kita bisa berhitung, sebenarnya penulis tidak punya data valid, berapa jumlah Doktor yang dimiliki oleh NW? Apakah sudah bisa mencapai 100 orang atau mungkin masih kurang dari itu? Dan kabarnya baru hanya satu atau dua orang saja yang bisa meraih Doktor dari kader muslimat. Secara mutlak, hal itu memang belum bisa menjadi tolak ukur perkembangan gerakan pendidikan NW. Secara kelembagaan NW memiliki jumlah lembaga pendidikan yang cukup banyak. Data tahun 2000 menyebutkan jumlah lembaga pendidikan NW mencapai 806 buah, dengan konsentrasi terbesar berada di wilayah Lombok Timur sebagai pusat perkembangan NW, diikuti Lombok Tengah, Mataram (Lombok Barat), Pulau Sumbawa dan beberapa daerah di luar NTB (Masnun, 2007). Dalam kesempatan ini aspek kualitas dapat kita abaikan, satu masalah terpenting apakah keberadaan jumlah lembaga pendidikan tersebut dapat menjadi solusi bagi tingginya angka putus sekolah. Jika peningkatan jumlah lembaga pendidikan NW berbanding lurus dengan peningkatan angka putus sekolah, tentu menjadi masalah bersama bahwa gerakan pendidikan NW masih perlu evaluasi dan perbaikan.
Bidang sosial seringkali menjadi aspek yang terabaikan, bukan berarti karena tidak penting namun terkesampingkan dibanding bidang yang lain. Gerakan-gerakan di bidang sosial Nahdlatul Wathan nampak belum terprogram secara baik. Kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan banyak masih bersifat residual dan temporer. Ketika ada momen-momen seperti Hultah dan sebagainya, barulah kegiatan donor darah, sumbangan air bersih, santunan dan lain-lain muncul. Harapanya, NW memiliki gerakan di bidang sosial yang berkelanjutan untuk mengakomordir kebutuhan pelayanan sosial jamaah NW dan masyarakat secara umum. Kegiatan-kegiatan sosial yang bersifat memberdayakan jamaah akan memunculkan ‘a sense of belonging’ (rasa memiliki) di hati jamaah. Namun kegiatan pemberdayaan jamaaah belum tampak diprogramkan, atau mungkin sudah masuk program tapi belum bisa dilaksanakan.
Ujung tombak terpenting NW adalah gerakan dakwah. Salah satu kunci keberhasilan penyebaran NW ke beberapa daerah di Nusantara adalah melalui gerakan dakwah. Para kader yang merantau ke luar daerah membawa serta dakwah NW ke tempat masing-masing. Secara perlahan kemudian terus berkembang dan mulai muncul lembaga-lembaga pendidikan NW yang baru. Seiring berjalannya waktu, NW dihadapkan pada permasalahan semakin terkikisnya militansi dan loyalitas jamaah pada tingkat akar rumput (grass root). Belum ada penelitian yang memunculkan data tersebut dan apa yang menjadi penyebabnya. Namun, mencoba melihat secara jujur fenomena yang tampak di masyarakat jelas memberikan gambaran bahwa loyalitas dan militansi jamaah NW semakin rapuh. Lantas muncul pertanyaan apakah gerakan dakwah NW selama ini tidak efektif? atau mungkinkah ada permasalahan besar dalam struktur yang menyebabkan kerja-kerja organisasi tidak bekerja sebagaimana semestinya?
Muktamar : Momentum Evaluasi Kerja Organisasi
Tanggal 7-9 Agustus 2016 dipilih oleh PBNW untuk menyelenggarakan kegiatan lima tahunan Muktamar NW ke-XIII. Jika merunut pelaksanaan muktamar pada tahun sebelum-sebelumnya, semestinya pelaksanaan muktamar ke-XIII berlangsung pada tahun 2014. Entah apa yang menjadi pertimbangan PBNW untuk menunda pelaksanaan muktamar sampai dengan 2 tahun. Tentu bukan hal yang terlalu penting untuk dipermasalahkan atau dibesar-besarkan. Namun secara kasat mata keterlambatan penyelenggaraan muktamar menjadi indikasi bahwa ada sesuatu yang tidak normal dalam perjalanan organisasi Nahdlatul Wathan.
Muktamar sebagai forum musyawarah tertinggi Nahdlatul Wathan merupakan wadah PBNW untuk menyampaikan pertanggungjawaban kerja organisasi selama 5 tahun kepengurusan. Artinya muktamar memiliki fungsi utama sebagai sarana evaluasi atas pelaksanaan program yang telah disepakati bersama untuk kemajuan organisasi. Apakah dalam kepengurusan PBNW telah berhasil menjalankan amanah organisasi atau justru gagal. Konsekuensi logis evaluasi tersebut akan menjadi momentum organisasi terus berbenah dan mengembangkan diri untuk berkhidmat bagi kepentingan jamaah. Karena jelas disebutkan dalam muqaddimah Anggaran Dasar (AD) “bahwa NW merupakan gerakan pembangunan tanah air Indonesia yang bercita-cita mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT, melalui kegiatan pendidikan, sosial dan dakwah islamiyah”.
Selain sebagai momentum kerja organisasi muktamar adalah wadah untuk melakukan regenerasi kepemimpinan kader. Hal ini penting untuk terus melakukan penyegaran terhadap elemen-elemen organisasi. Dengan demikian momen muktamar bukan hanya sebagai ajang “formalitas” untuk mengaklamasi kembali Tuan Guru Bajang (TGB), sebagai ketua umum PBNW. Seperti diketahui ini merupakan periode ke-3 TGB memimpin NW dan periode ke-4 jika beliau berhasil terpilih lagi. Tentu tidak ada yang salah jika beliau terpilih lagi dan memang sangat pantas karena saat ini beliau merupakan kader terbaik Nahdlatul Wathan. Pertanyaannya bagaimana proses kaderisasi NW selama 3 periode kepemimpinan TGB? Jika selama lebih dari 15 tahun NW hanya menghasilkan satu orang TGB sebagai pemimpin, apakah sayap-sayap organisasi sebagai wadah kaderisasi NW tidak berfungi?
Maka dapat diduga munculnya berbagai permasalahan NW bersumber dari tidak terlaksananya fungsi muktamar secara baik. Struktural kepengurusan yang terbentuk tidak berjalan optimal, perencanaan dan agenda-agenda penting organisasi tidak tercapai, serta kebijakan dan program organisasi tidak menyentuh aspirasi dan partisipasi jamaah.
Membuka Ruang Partisipasi Jamaah
Tidak sulit memprediksi hasil keputusan muktamar XIII mendatang, hampir pasti TGB akan kembali terpilih menjadi Ketua Umum Dewan Tanfiziyah PBNW. Figuritas beliau belum ada satupun kader NW yang bisa menandingi. Kharismatik beliu juga masih melekat erat di hati para jamaah. Tulisan ini bukan hendak menolak pencalonan TGB, tetapi lebih kepada usaha mendorong adanya perubahan bahwa partisipasi jamaah dalam berorganisasi merupakan hal yang utama.
Untuk mengukur tingkat partisipasi jamaah NW dapat digunakan pendekatan “a ladder of citizen participation” yang digagas oleh Sherry R. Arnstein atau lebih dikenal dengan 8 tangga Arnstein. Pendekatan tersebut sebenarnya digunakan untuk mengukur tingkat partisipasi publik dalam pembangunan, tapi penulis menganggap masih relevan digunakan untuk menggambarkan tingkat partisipasi jamaah Nahdliyin dalam menjalankan organisasi Nahdlatul Wathan. Seperti disebutkan diatas tangga Arnstein terdiri dari 8 tahapan yang urut dan dikelompokkan menjadi 3 yaitu: Nonparticipation, Tokenism, dan Citizen Power.
Bagian pertama Nonparticipation, ada dua tangga berjenjang yaitu manipulation (memanipulasi) dan therapy (memulihkan). Dalam kelompok nonparticipation tidak ada partisipasi sama sekali, artinya kelompok penguasa secara sengaja menciptakan kondisi yang menghalangi partisipasi atau menghapus segala bentuk partisipasi publik. Pada tangga manipulation, para elite (organisasi) memilih sebagian kecil orang tertentu sebagai wakil dari publik (jamaah). Hal itu bertujuan untuk ketika elite membuat program, para wakil jamaah tersebut harus setuju, sementara jamaah tidak mengetahui apapun. Pada tangga therapy, jamaah diberitahu beberapa program yang telah disetujui oleh para wakil namun jamaah hanya pada posisi mendengarkan saja.
Bagian kedua Tokenism, terdiri dari tiga anak tangga lanjutan yaitu informing, consultation, dan placation. Tokenism adalah memberikan gambaran bahwa seolah-olah mereka telah membuka ruang partisipasi, padahal sejatinya itu hanya sekedar untuk menampilkan ‘wajah baik’ di mata jamaah. Pada tangga informing, mereka memberikan informasi kepada jamaah tentang berbagai program yang telah maupun yang akan dilakukan tapi hanya sebatas informasi satu arah. Tangga consultation telah membuka ruang diskusi dengan jamaah tentang berbagai agenda program. Jamaah dapat memberikan masukan berupa kritik dan saran, namun tetap menjadi kuasa elite yang memutuskan apakah masukan dari jamaah dijalankan atau tidak. Pada tangga placation para elite memberikan janji bahwa mereka akan menjalankan kritik dan saran yang telah disampaikan jamaah, namun ternyata hanya janji, mereka tetap menjalankan apa yang direncanakan sebelumnya.
Bagian ketiga Citizen Power (jamaah berdaya). Ada tiga tangga lanjutan bagian atas yaitu partnership, delgated power, dan citizen control. Pada posisi ini partisipasi jamaah telah tercapai, para elite telah menyadari pentingnya posisi jamaah, sehingga mereka mengutamakan partisipasi jamaah dalam berbagai bidang. Tangga partnership memposisikan jamaah seperti mitra kerja. Barbagai agenda dirancang dan dilaksanakan secara bersama-sama. Tangga delegated power, para elite sudah lebih terbuka dan memberikan kepercayaan kepada jamaah dalam berbagai hal, termasuk salah satunya dalam proses-proses pengambilan keputusan. Pada tangga yang teratas citizen control, jamaah sudah benar-benar berdaya dan mandiri. Peran elite justru sangat minim dan peran jamaah lebih mendominasi termasuk dapat melakukan evaluasi terhadap kinerja para elite. Menurut Arnstein pada posisi inilah partisipasi publik (jamaah) yang idela bisa tercapai.
Setelah melakukan analisis dengan pendekatan di atas, tentu bukan menjadi kewenangan penulis untuk memutuskan bahwa partisipasi jamaah NW berada pada level yang mana. Baik berada pada posisi nonparticipation, tokenism, atau citizen power, hendaknya menjadi evaluasi bersama untuk kemajuan organisasi. Menjadi sebuah kesyukuran jika jamaah NW telah berada pada level citizen power. Namun jika masih berada pada level tokenism atau nonparticipation tentu harus ada usaha untuk lebih membuka ruang partisipasi jamaah dalam berorganisasi.
Catatan Tambahan: Kemana TGB selanjutnya?
Beberapa waktu terakhir tepatnya pada momen peringatan HPN (Hari Pers Nasional), menjadi lompatan penting dalam isu “me-nasional-kan” TGB. Dalam pidatonya TGB secara tegas berani menyampaikan kritik, secara langsung dihadapan presiden, atas kebijakan presiden yang dinilai tidak berpihak pada rakyat. Momen tersebut kemudian menjadi gaung yang semakin kuat bahwa sosok TGB pantas tampil menjadi salah satu pemimpin nasional masa depan. Terlebih lagi didorong oleh opini beberapa tokoh penting tentang potensi figur TGB diberbagai media, semakin menguatkan harapan jamaah bahwa ada representasi NW yang bisa tampil mengisi komposisi pemimpin nasional.
Munculnya berbagai slogan di media-media sosial seperti #TGBforNextPresiden, #TGBmenjadiMenteri, #TGBLawanAhok, dan sebagainya menunjukkan besarnya harapan jamaah terhadap TGB. Secara kualitas diperkuat dengan berbagai prestasi yang diraih selama memimpin NTB, tidak ada yang meragukan bahwa beliau sangat pantas untuk didorong berkiprah pada level nasional. Tidak menutup kemungkinan juga bahwa hal itu akan menjadi salah satu rekomendasi pokok dalam muktamar yang akan datang.
Terlepas dari hal itu, hemat penulis, ada sedikit hal yang perlu diluruskan. Jika TGB akan didorong untuk berkiprah di level nasional maka TGB sudah semestinya melepaskan jabatan sebagai ketua umum PBNW. Begitupun sebaliknya jika dalam muktamar nanti TGB kembali diamanahkan sebagai PBNW maka semestinya juga TGB siap melepaskan harapan jamaah untuk ke nasional. Akan lebih baik juga setelah menuntaskan ikhtiar beliau sebagai gubernur NTB, beliau fokus membangun NTB melalui organisasi NW. Belajar dari pengalaman selama dua periode memimpin NTB, TGB sukses menorehkan prestasi gemilang. Pertanyaanya bagaimana dengan kepemimpinan organisasi NW selama ini? Ibarat seorang sopir merupakan hal yang mustahil untuk mengendarai dua kendaraan pada waktu bersamaan. Bagaimanapun juga TGB adalah manusia biasa, tentu bukan hal yang bijak untuk selalu memikulkan beban hanya dipundak beliau. Wallahu a’lam.