Pemilik Kost: Sudut Berbeda Zonasi Sekolah

Terlihat ada sebuah ikhtiar yang baik dari pemerintah untuk bisa mewujudkan atmosfer pendidikan yang berkeadilan dan merata. Tidak ada satu sekolah di sebuah wilayah yang boleh lebih mendominasi dalam usaha mencerdaskan generasi, dan yang lain menjadi tertinggal.

Terminologi sekolah pavorite dan tidak, yang berkembang selama ini harus diakui memang menimbulkan kesenjangan perlakuan bagi siswa di masyarakat. Siswa yang masuk di sekolah dengan label pavorite akan secara otomatis menyandang predikat sebagai siswa yang “pintar”, pun sebaliknya siswa yang secara akademik pintar tidak akan mendapat pengakuan lantaran berada di lingkungan sekolah yang bukan sekolah pavorit. Secara faktual tentu hal tersebut tidak bisa digunakan untuk menarik ukuran kualitas siswa.

Eksistensi “sekolah pavorite” memang tidak bisa terbantahkan dengan segudang prestasi yang dengan mudah diraih. Namun kondisi tersebut juga tidak bisa menjadi tolak ukur keberhasilan sekolah dalam penyelenggaraan proses pendidikan. Karena semua peserta didik yang masuk merupakan hasil seleksi dari para siswa yang memang sudah memiliki kualifikasi akademik yang bagus.

Bahan baku (input) yang berkualitas tidak akan memerlukan polesan atau perlakuan yang “ekstra” untuk dapat menghasilkan “barang” (output) yang juga berkualitas. Jadi sekolah pavorit jika memiliki banyak prestasi tentu hal yang wajar, karena siswa yang dididik adalah bibit unggul. Justru sebaliknya institusi sekolah akan dianggap berhasil jika yang masuk adalah siswa “biasa” dan setelah lulus menjadi siswa berprestasi.

Sistem zonasi sekolah menjadi alternatif solusi yang dianggap paling representatif oleh pemerintah atas kesenjangan pendidikan yang terjadi antar sekolah. Namun niat baik pemerintah tersebut tidak lantas mendapat sambutan setuju dari para pihak.

Ada beragam alasan yang menjadi ungkapan ketidaksetujuan atas kebijakan tersebut. Satu pihak dianggap tidak setuju adalah para orang tua yang memiliki anak “berprestasi”, dengan maksud ingin memastikan anaknya mendapat layangan pendidikan maksimal untuk menunjang prestasinya. Hal tersebut tentu dapat dipahami sebagai harapan setiap orang tua.

Penolakan lain yang muncul bukan terkait prestasi tapi kesulitan orang tua menemukan sekolah untuk anaknya. Dalam kasus ini memang belum tersedia institusi pendidikan lanjutan di beberapa daerah. Sementara memilih sekolah yang aksesnya cukup jauh terkendala kebijakan zonasi.

Selain itu, pihak sekolah yang selama ini memiliki label “pavorite” tentu akan menjadi hal meresahkan, karena “bahan baku” input siswa berprestasi akan berkurang. Tentu akan mempengaruhi capaian prestasi sekolah yang juga akan mengalami penurunan cukup signifikan dari sebelumnya.

Terlepas dari perdebatan baik buruk atas kebijakan zonasi sekolah tersebut, saya ingin mengajukan sudut pandang lain atas fenomena ini. Ada dampak lain yang luput dari perhatian pemerintah.

Kasus di kota Selong, kebijakan zonasi sekolah mungkin tidak terlalu berpengaruh terhadap sekolah atau para orang tua siswa. Pihak yang mendapat imbas langsung adalah para pemilik kost di sekitar sekolah pavorit.

di Lombok Timur sekolah yang mendapat label pavorit sejak berpuluh tahun lalu adalah SMAN 1 Selong. Label sekolah pavorit tersebut membawa berkah bagi masyarakat di sekitar SMAN 1 Selong. Tidak perlu memiliki tanah yang luas, halaman yang cukup sempit saja bisa mendatangkan penghasilan yang cukup menguntungkan. Tinggal mengeluarkan modal sedikit untuk membangun 1 atau 2 lokal kamar yang bisa disediakan untuk kost-kostan. Atau bahkan rumah yang memiliki kelebihan kamar bisa langsung disewakan.

Reputasi SMAN 1 Selong selalu bisa dipertahankan sehingga siswa berdatangan dari berbagai wilayah, bahkan dari daerah yang berjarak cukup jauh, untuk bisa masuk di sana. Melihat kondisi tersebut, masyarakat Selong seperti mendapat peluang emas. Banyak kemudian yang berani melakukan investasi untuk membangun kost-kostan dengan biaya yang tidak sedikit. Dari penuturan salah satu pemilik kost di Selong bahkan ada yang mengangkat hutang di bank untuk membangun kost.

Tapi kebijakan zonasi meruntuhkan harapan mereka. “Kita bangkrut”, keluh pemilik kost yang sempat saya tinggali dulu ketika masih SMA. Luput dari perhatian, para pemilik kost cukup ngos ngosan untuk membayar hutang investasi yang terlanjur ditanam. []

Add a Comment

Your email address will not be published.