Membaca Pilgub DKI dalam Kacamata Agama Jawa
-M. Zainul Asror-
social development and walfare – UGM
Clifford Geertz, dalam hasil penelitiannya yang berjudul “the religion of java” mengkategorisasi masyarakat Jawa menjadi tiga ( Abangan, Santri, dan Priyayi). Menurut Geertz ketiga golongan itu berada dalam posisi berseberangan.
Membaca Geertz, Guru besar Fisipol UGM, Prof.Susetiawan menafsirkan bahwa polarisasi agama jawa tersebut tidak hanya menjelaskan kondisi masyarakat Jawa. lebih jauh lagi keadaan itu menggambarkan secara luas struktur politik nasional, yang termanifestasi dalam karakter masing-masing partai politik yang ada.
Abangan sebagai golongan pertama dapat dicerminkan melalui partai-partai yang beraliran sosialis, dalam hal ini diwakili oleh PDIP.
Kubu santri jelas merupakan representasi golongan islam, tentu juga dalam politik mengacu kepada partai-partai yang berasas islam, PPP, PKB, PAN dan PKS.
Dan ketiga atau yang terakhir golongan priyayi, kelompok ini bisa dilihat dalam perwujudan partai-partai orang kaya seperti Golkar, Demokrat, Gerindra, dan Nasdem.
Merupakan penjelasan yang logis melihat kesesuaian kategori tersebut dengan karakteristik partai politik yang ada. Namun melihat pola-pola tersebut jika mengacu kepada tesis Geertz, bahwa masing-masing golongan berada dalam posisi berseberangan tidak sepenuhnya benar jika ditarik pada kasus PILGUB DKI Jakarta.
Terbentuknya tiga koalisi dalam pencalonan pilgub DKI sebenarnya bisa memberikan gambaran terkait polarisasi tersebut. akan tetapi dalam koalisi tersebut terjadi pencampuran antar golongan (abangan, santri, priyai).
Koalisi pertama misalnya, partai-partai pengusung petahana (Ahok) terdiri dari golongan partai priyayi (Golkar, Nasdem, Hanura). Cukup mengejutkan di akhir menjelang pendaftaran calon, PDIP sebagai representasi politik abangan tiba-tiba memilih bergabung dengan koalisi priyayi. Padahal secara suara mereka bisa mengusung calon sendiri.
Berikutnya koalisi kedua menyebut diri mereka dengan sebutan poros “kertanegara”. tidak berbeda dengan koalisi pertama, koalisi ini juga terdiri dari dua partai yaitu Gerindra (priyayi) dan PKS (santri). ini juga menunjukkan fakta bahwa dua golongan yang berseberangan bisa membentuk koalisi dalam pilgub dki.
Koalisi ketiga juga terdiri dari empat partaiyaitu PPP, PKB, PAN, dan Demokrat. Secara komposisi tampak bahwa golongan partai santri lebih dominan dengan tiga partai islam, namun kembali lagi posisi koalisi ini tidak bisa lepas dari partai Demokrat sebagai representasi partai priyayi.
Secara budaya polarisasi *agama jawa* masih terlihat jelas dan berdiri eksis sehingga termanifestasi dalam pembentukan karakter partai politik. menjadi menarik ketika partai partai politik bertarung diranah perebutan kekuasaan perbedaan golongan menjadi menipis dan bisa membentuk koalisi lintas golongan.
pertanyaanya kemudian, mampukah koalisi-koalisi tersebut bertahan dalam waktu yang cukup signifikan? ataukah koalisi mereka hanya sebagai strategi meraih kuasa dan pengaruh? tapi dalam kenyataannya mereka tidak akan pernah bisa bersatu dan selalu bertentangan antar ketiga golongan Abangan, Santri, dan Priyayi.