Ekonomi Jamaah NW: Kumbakarna yang Masih Tidur
Datu bersama ayahandanya
Limpahkan takluk dan kumbakarna
Sapu-jagat dan sebagainya
Bukti Rinjani dan Gajah Mada
(Wasiat Renungan Masa-Hamzanwadi)
Sebenarnya tidak ada kaitan langsung antara bait Wasiat Renungan Masa yang dikutip di atas dengan apa yang akan dibahas dalam tulisan ini. Bait tersebut dimunculkan semata hanya karena terdapat kata “kumbakarna”. Bagi pembaca yang sering bersentuhan dengan cerita pewayangan istilah kumbakarna tentu tidak asing lagi. Untuk yang belum sempat membaca atau mendengar berikut cuplikan kisahnya:
“Kumbakarna adalah seorang raksasa anak kedua dari Wisrawa dan Sukesi. Kumbakarna berwajah raksasa sebagai hukuman dewa kepada Wisrawa, tapi Kumbakarna berbudi satria. Kakak kandungnya bernama Rahwana, raksasa penguasa kerajaan Alenka, yang memiliki sifat jahat dan kejam. Kumbakarna sering menasehati Rahwana atas perbuatannya yang salah tapi Rahwana tidak pernah mau mendengar.” (Cerita Ramayana)
Seperti cuplikan cerita diatas, dalam lakon pewayangan, Kumbakarna merupakan tokoh yang memiliki sifat budi luhur dan satria. Kumbakarna selalu berani menentang kemauan jahat kakaknya, termasuk ketika Rahwana menculik Shinta isteri Sri Rama. Dengan tegas dia meminta agar Rahwana menyerahkan Shinta kepada Sri Rama, namun Rahwana justu mengumpat dan mengusirnya pergi.
Suatu ketika Alenka diserang oleh Sri Rama, Rahwana kewalahan dan putus asa. Pada akhirnya dia meminta bantuan kepada Kumbakarna untuk menghadapi Sri Rama. Walaupun Rahwana seringkali mengabaikan nasihat Kumbakarna, tapi dia selalu membutuhkan bantuannya. Dan dengan sifat budinya Kumbakarna selalu bersedia memberikan bantuan. Sayang takdirnya, menurut cerita, ketika Rahwana dan Kumbakarna bertapa Brahma muncul untuk mengabulkan permohonan mereka. Pada saat giliran Kumbakarna memohon Dewi Saraswati masuk kedalam mulutnya dan membengkokkan lidahnya, maka saat memohon “Indraasan” (tahta) ia mengucapkan “Neendrasan” (tidur abadi). Rahwana meminta Brahma untuk membatalkan tapi hanya diringankan menjadi tidur selama enam bulan dan bangun enam bulan berikutnya. Maka sejak itu Kumbakarna tidak mampu mengerahkan seluruh kekuatannya. Begitu pengenalan singkat tentang karakter tokoh wayang Kumbakarna, sekaligus sebagai pengantar singkat tulisan ini.
***
Sebagai sebuah organisasi kemasyarakatan terbesar di NTB, Nahdlatul Wathan (NW) diharapkan dapat memberikan sumbangsih dalam pembangunan. Sesuai dengan namanya yang berasal dari bahasa arab nahdlatul wathan, mempunyai makna pergerakan tanah air, tentu tidak hanya untuk membangun NTB tapi juga Indonesia. Persis seperti yang disampaikan pendirinya TGKH.M.Zainuddin Abdul Madjid (Hamzanwadi) dalam sebuah pidato pengajian di hadapan murid-muridnya. Hamzanwadi menyampaikan “…Nahdlatul Wathan untuk membangun negara tanah air, dari Sabang sampai Merauke, agar kiranya menjadi negara yang aman makmur tenang dan tentram”. Artinya NW juga memiliki tanggung jawab yang besar dalam mensukseskan pembangunan dan memajukan Indonesia.
Rilis data terakhir dari BPS pada semester II (September) 2015 tercatat angka kemiskinan di NTB sebesar 16,54 persen atau sekitar 802 ribu lebih jumlah penduduk miskin. Meskipun menurun dari jumlah sebelumnya pada semester I bulan maret 2015 yaitu sebesar 17,10 persen, angka tersebut masih tergolong tinggi. NTB masuk peringkat 8 besar angka kemiskinan tertinggi di Indonesia. Selain itu selama 5 tahun terakhir sejak 2011 indeks gini NTB mengalami peningkatan dan menembus angka 0,38. Hal tersebut mengindikasikan bahwa jurang kesenjangan sosial di NTB semakin terbuka lebar.
Dari paparan data tersebut, NW tentu turut bertanggung jawab secara moral untuk mengatasi masalah tersebut, terlebih gubernur NTB merupakan kader yang merupakan representasi organisasi. Pertanyaannya kemudian, apasaja yang sudah dilakukan NW untuk membangun Indonesia atau NTB secara lebih khusus?
Untuk gambaran lebih jelas mari kita coba berhitung. Jumlah penduduk NTB menurut BPS tahun 2014 adalah 4.773.795 jiwa, dikurangi jumlah penduduk usia 0-14 tahun dan 65+ sebanyak 1.675.076 jiwa, maka jumlah penduduk NTB usia produktif (15-64 tahun) sebanyak 3.098.719. Jika kita berasumsi bahwa setengah (mungkin lebih) dari jumlah penduduk usia produktif tersebut adalah jamaah NW, maka NW menyumbang angka kemiskinan yang cukup besar bagi NTB. Lantas apakah boleh mengatakan “NW berdosa atas tingginya angka kemiskinan di NTB?”. Tentu bukan sesuatu yang bijak untuk berpendapat seperti itu. Hanya saja jika organisasi NW, terlepas dari kerja pemerintah, mampu memberdayakan jamahnya untuk bisa mandiri secara ekonomi, setidaknya setengah dari jumlah angka kemiskinan NTB bisa dientaskan. Mudah diucapkan tapi sulit dilaksanakan. Memang merupakan hal yang sulit tapi bukan berarti sesuatu yang mustahil untuk dilakukan.
Secara struktural keorganisasian, NW bisa kita gambarkan seperti sebuah pyramid, mempunyai tiga bagian atas, tengah, dan bawah. Golongan menengah dan atas merupakan bagian yang cukup mapan secara ekonomi atau dalam bahasa sederhana kita sebut sebagai orang-orang kaya. Sedangkan bagian bawah dari piramida tersebut adalah golongan ekonomi tidak mampu atau jamaah miskin. Walaupun demikian dalam tradisi NW jamaah miskin ini selalu turut serta memberikan sumbangsih terhadap keuangan organisasi (beramal, pen).
Melihat struktur tersebut dalam pandangan ekonomi, mnurut seorang guru besar Harvard, Prof. Coimbatore Krishnarao Prahalad dalam penelitiannya yang ditulis dalam buku “Fortune at the Bottom of Pyramid” bahwa kue ekonomi di dasar pyramid itulah yang sangat besar dan cash, tapi selama ini tidak mendapat perhatian yang serius (Adhi, 2015). Dikaitkan dengan ilustrasi diawal, inilah “Kumbakarna yang masih tidur”. Jamaah miskin NW yang cukup besar tersebut menyimpan potensi ekonomi yang luar biasa. Seperti apa yang pernah diungkapkan oleh Peter Drucker “sesungguhnya tidak ada negara yang miskin dan terbelakang, yang ada adalah negara-negara yang tidak terkelola (under-manage)”. Jika diturunkan dalam konteks NW dengan logika yang sama “ sebenarnya tidak ada jamaah NW yang miskin, yang ada adalah jamaah NW yang belum diberdayakan”.
(Bersambung)