Geliat Pariwisata dan Terpinggirnya Ekonomi Masyarakat Lokal

-M. Zainul Asror-

social development and walfare – UGM

Pantai Tangsi, Lombok TimurSudah menjadi rahasia umum Indonesia memiliki kekayaan dan keindahan alam yang begitu mempesona. Namun kekayaan dan keindahan alam tersebut belum bisa membawa dampak terhadap kesejahteraan masyarakat. Sehingga isu kemiskinan selalu menjadi bahasan utama yang tak kunjung selesai. Sudah banyak sumbangan pemikiran terkait dengan akar masalah penyebab kemiskinan yang terjadi di Indonesia. Belum satupun memberikan solusi yang efektif untuk mengatasi permasalahan tersebut. Salah satu pendapat menjelaskan bahwa fenomena kemiskinan di Indonesia terjadi karena kemiskinan struktural. Selo Soemardjan memberikan pengertian kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat, karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka.

Terkait dengan pengelolaan potensi alam Indonesia dalam beberapa tahun terakhir geliat pariwisata kita semakin berkembang seiring dengan tampilnya Indonesia sebagai salah satu destinasi wisata dunia. Itu menjadi penanda usaha serius pemerintah untuk terus menggalakan pembangunan pada sektor pariwisata. Entah itu menjadi sebuah berita gembira yang harus disyukuri atau mungkin sebaliknya adalah kabar duka.

Instruksi Presiden No. 9 Tahun 1969 menetapkan keuntungan ekonomis sebagai tujuan yang pertama dari pembangunan pariwisata di Indonesia (Demartoto, et.al., 2009). Dalam INPRES tersebut Secara eksplisit dijelaskan bahwa tujuan pembangunan pariwisata adalah untuk peningkatan pendapatan masyarakat, artinya perbaikan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat merupakan orientasi utama dalam pembangunan pariwisata. Namun, realitasnya sangat jauh berbeda kita saksikan bahwa pengelolaan dan pembangunan pariwisata di Indonesia hanya memberikan keuntungan sedikit bagi negara dan sebagian besar adalah untuk para pemilik modal terutama para pemodal asing. Sementara masyarakat mukim di kawasan pariwisata dipaksa untuk hanya menjadi penonton. Menjadi relevan dengan penjelasan tentang konsep kemiskinan struktural bahwa kemiskinan masyarakat disebabkan oleh ketiadaan akses untuk memanfaatkan sumber-sumber pendapatan dilingkungannya, salah satunya akses dalam pembangunan pariwisata.

Fenomena yang terjadi di daerah-daerah pariwisata, NTB misalnya, semakin menguatkan asumsi bahwa masyarakat lokal tidak memiliki akses yang cukup dalam mengelola sektor tersebut. Ada yang menarik jika melintas pada jalur-jalur wisata seperti di KLU Malimbu, Nipah, Senggigi dan sekitarnya. Disamping menyaksikan tampak alam yang sangat mempesona dan memanjakan mata, bisa kita saksikan juga mulai bermunculan hotel-hotel, restoran, atau villa yang baru dibangun, sebagian besar bangunan-bangunan tersebut tanpa malu-malu menampilkan wajah (brand) asing. Satu hal yang tidak boleh luput dari pandangan, pada lahan-lahan kosong di sekitar lokasi pembangunan wisata tersebut semakin banyak muncul tempelan papan-papan kecil bertuliskan “Tanah ini dijual”. Artinya apa, pertumbuhan pariwisata kita tidak bisa lepas dari masuknya investor-investor asing yang secara perlahan menggeser keberadaan masyarakat lokal.

Para stakeholder (dalam hal ini pemerintah daerah) yang memiliki wewenang penuh untuk pengelolaan dan pengembangan kawasan wisata, mungkin dengan pertimbangan yang sangat minim untuk mendapatkan peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah), membuka keran yang luas kepada masuknya investor-investor asing. Masyarakat lokal yang bermukim di sekitar lokasi wisata menjadi terpinggirkan secara ekonomi dan sosial. Padahal pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal juga harus mendapat perhatian serius. Karena tidak seperti sektor industri migas yang terletak jauh dari pemukiman penduduk, objek-objek tujuan pariwisata justru berada dekat bahkan berada dalam kawasan pemukiman penduduk (Soenjoto, 1986). Sehingga pelibatan masyarakat lokal menjadi penting agar tidak terasingkan dari usaha-usaha pengelolaan dan pengembangan pariwisata.

Dalam setiap program pembangunan ternyata pemerintah memang belum bisa melepaskan diri dari ketergantungan terhadap investor asing, termasuk dalam pembangunan sektor pariwisata. Mengundang investor selalu menjadi pilihan langkah pertama untuk memulai program pembangunan. Imbasnya adalah pengelolaan sektor pariwisata menjadi sebuah orientasi persaingan bisnis. Secara manajerial memang sistem tersebut akan menjadikan pengelolaan wisata dilakukan secara profesional. Namun pengelolaan yang dilakukan secara profesional dengan landasan bisnis, tentu mempunyai konsekuensi lanjut, yaitu hitung-hitungan untung rugi dan disinilah para investor memegang peranan (Sugiantoro, 2000).

Lebih lanjut lagi pembangunan pariwisata dengan konstruksi yang dibangun di atas fondasi industri pariwisata internasional seperti sekarang ini rentan menjadi alat kapitalisme global di dalam negeri dan akan mengingkari peran strategis industri pariwisata nasional bagi pembangunan bangsa (Damanik dan Kusworo, 2002). Pariwisata kemudian berubah fungsi sebagai alat pengeruk keuntungan semata bagi pemilik modal tidak peduli akan dampak lingkungan dan kerusakan sistem sosial budaya masyarakat lokal. Kondisi tersebut kemudian menjadikan masyarakat lokal sebagai tuan rumah dalam lingkaran usaha pariwisata, terabaikan dan semakin mengalami keterpurukan ekonomi.

Pariwisata Berbasis Masyarakat untuk Pariwisata di NTB

Berkaca pada hal tersebut maka perlu untuk dirumuskan strategi pembangunan pariwisata yang lebih berpihak kepada masyarakat lokal. Peluang ini cukup vital untuk dimanfaatkan secara maksimal sebagai salah satu langkah untuk penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat dan juga sebagai salah satu agenda pengentasan kemiskinan. Seperti pengalaman di sejumlah negara berkembang bahwa pariwisata yang dikelola secara cermat dengan strategi yang berpihak pada orang miskin (pro poor tourism) akan mampu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Damanik, 2010).

Pemberdayaan (empowerment) memegang peranan kunci dalam penyelesaian masalah tersesbut. Pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan melalui sektor pariwisata, tidak lantas bisa dilakukan secara serta merta semudah membalik telapak tangan. Diperlukan rencana dan langkah-langkah yang tepat sehingga dapat berjalan secara efektif. Nilai-nilai dan budaya lokal yang merupakan aset modal sosial harus menjadi perhatian utama. Satu yang terpenting misalnya masyarakat NTB mempunyai nilai budaya kebersamaan dan gotong royong yang sudah tertanam sejak lama. Maka dalam pembangunan sektor pariwisata yang lebih berpihak terhadap masyarakat miskin harus dilakukan dengan pelibatan secara penuh masyarakat lokal serta dilandasi dengan semangat nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong.

Beberapa usaha perlu dilakukan dalam rangka memulai usaha pemberdayaan masyarakat lokal di lingkungan pariwisata. Pertama, pendidikan pariwisata untuk masyarakat lokal. Ini awal yang penting untuk menanamkan pemahaman kepada masyarakat tentang pengelolaan pariwisata berbasis lingkungan dan nilai-nilai budaya lokal. Sehingga orientasi pembangunan wisata tidak hanya mengedepankan keuntungan material semata. Pariwisata dengan khasanah nilai dan budaya lokal terjaga lingkungan juga akan tetap lestari.

Kedua, pembatasan terhadap masuknya investor asing. Melalui wewenang regulasi pemerintah melakukan usaha membatasi investor asing dan mensosialisaikan kepada masyarakat untuk tidak menjual lahan-lahan di sekitar lokasi pariwisata. Sebaliknya masyarakat didorong untuk mengelola secara langsung lahan mereka dalam usaha pembangunan pariwisata dan penciptaan lapangan kerja.

Ketiga, bantuan akses modal dan pembentukan kelompok-kelompok usaha pariwisata. Diharapkan pemerintah dapat memberikan bantuan akses modal bagi pengusaha lokal untuk membangun usaha sektor pariwisata. Kepemilikan lahan dari masyarakat lokal ditambah dengan bantuan permodalan bagi pengusaha lokal dibentuk dalam sebuah kelompok usaha pengelolaan pariwisata. Kolaborasi ketiga langkah tersebut kemudian menjadi motor penggerak pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan industri pariwisata dapat dikukan secara penuh dari hulu hingga hilir oleh masyarakat lokal. Pada akhirnya tidak ada lagi masyarakat lokal yang hanya menjadi “pedagang jagung bakar” di pinggir jalan.

Add a Comment

Your email address will not be published.