Negara dan Prilaku Pemiskinan Struktural (Kampung Pulo)

-M. Zainul Asror-

social development and walfare – UGM

“Fakir miskin dan anak-anak terlantar di pelihara oleh negara”

(Pasal 34 Ayat 1 UUD 1945)

 kampung-pulo-akan-dibongkar-kembali-aktivitas-warga-kampung-pulo-_150722175351-861Membahas masalah kemiskinan tak ubahnya seperti berdiri di sebuah jalan panjang yang ujungnya tidak pernah terlihat. Cerita tentang kemiskinan telah bergulir sekian lama namun sampai saat ini tidak pernah menemukan solusi yang tepat bagaimana untuk mengatasinya. Perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat semakin membentuk alur yang kompleks, diiringi juga dengan munculnya episode-episode baru tentang fenomena kemiskinan. Sudah sangat banyak sumbangan pemikiran dan kajian-kajian dari para akademisi terkait masalah kemiskinan. Mereka berlomba-lomba membuat trobosan-trobosan baru, menelurkan ide dan gagasan dalam bentuk teori atau langkah-langkah strategis pengentasan kemiskinan.

Sedikitnya ada dua macam perspektif yang lazim dipergunakan untuk mendekati masalah kemiskinan, yaitu: perspektif kultural (cultural perspective) dan perspektif struktural atau situasional (situational perspective) (Usman, 2010). Kedua perspektif ini dengan basis teori masing-masing mencoba memberikan gambaran dan penjelasan bagaimana sesungguhnya masalah kemiskinan. Perspektif pertama menganggap penyebab kemiskinan adalah karena pengaruh alamiah budaya masyarakat, kemalasan dalam bekerja, lemahnya etos kerja, tidak memiliki motivasi wirausaha dan sebagainya. Berbeda dengan perspektif yang pertama, perspektif struktural memberikan argumentasi bahwa alasan masyarakat menjadi miskin bukan karena malas atau tidak punya etos kerja. Selo Soemardjan menjelaskan kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat, karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka (Suyanto, 2015).

Melihat fenomena di Indonesia, perspektif struktural dapat menjadi alternatif yang lebih tepat untuk menjelaskan tentang kemiskinan. Misalnya seorang kakek yang sejak muda giat bekerja tapi sampai senja usianya tetap saja hidupnya tidak mengalami peningkatan kualitas. Kakek tersebut tentu tidak dapat dikatakan sebagai pribadi yang malas atau mempunyai etos kerja yang lemah. Tapi, ada suatu struktur yang menghambat jalan kakek itu untuk dapat berkembang dan mengalami perbaikan kehidupan. Mungkin struktur ekonomi masyarakat yang lebih mengutamakan akumulasi modal, sehingga hanya para pemodal-pemodal besar yang mendapat keuntungan. Atau mungkin juga kemiskinan itu terjadi karena ketidakberpihakan negara dalam penyediaan sumber-sumber ekonomi bagi masyarakatnya.

Fakta yang terjadi memang seperti itu, program-program pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat namun, seringkali yang terjadi justru pemiskinan terhadap masyarakat. Pelajaran menarik dapat kita petik dari kasus proyek normalisasi Kali Ciliwung di DKI Jakarta yang terjadi beberapa waktu yang lalu. Permasalan pelik banjir di Ibukota menjadi alasan pemerintah bersikap tegas untuk melakukan normalisasi. Konsekuensinya relokasi warga Kampung Pulo yang bermukim di sepanjang aliran sungai harus dilakukan. Pemerintah DKI Jakarta menyiapkan sebuah RUSUNAWA (Rumah Susun Sewa) sebagai lokasi mukim baru bagi warga. Secara fisik rumah susun tersebut jauh lebih layak dan sehat dibandingkan dengan rumah warga di tepian kali. Namun, timbul masalah karena pemerintah tidak mempertimbangkan kehidupan perekonomian masyarakat yang juga ikut tergusur. Warga yang biasanya membuka warung atau tempat menjahit dirumah mereka untuk bertahan hidup, ketika lakukan relokasi maka mereka tidak lagi bisa berusaha. Walaupun didalam rusun disiapkan ruko-ruko tapi mereka tidak memiliki akses untuk bisa mendapatkannya.

Mungkin fasilitas perumahan yang mewah dan sehat dengan sewa yang murah mereka dapatkan. Namun, ketika sumber-sumber perekonomian masyarakat untuk survive (bertahan hidup) digusur tanpa ada pengganti. Jangankan untuk membayar sewa rusun yang murah tersebut, untuk memenuhi kebutuhan pokok yang lain mereka harus berfikir jauh lebih keras lagi. Ini menjadi realitas sosial pemiskinan struktural masyarakat yang secara langsung dilakukan oleh negara. Pesan undang-undang bahwa orang miskin dipelihara hanya menjadi slogan-slogan yang terdengar indah tapi tidak pernah bisa diwujudkan.

Add a Comment

Your email address will not be published.