Sekolah Kita Kekurangan Guru
-M. Zainul Asror-
social development and walfare – UGM
Sekolah merupakan wadah, menjadi tempat untuk transformasi nilai-nilai budaya. Sebagai wadah transformasi budaya maka sekolah dituntut untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Karena di sekolahlah masyarakat menitipkan putra dan putri mereka untuk dididik dan diharapkan menjadi generasi penerus. Ketika sekolah telah dapat menjalankan fungsinya dengan baik maka output yang dihasilkan tentunya akan menjadi berkualitas. Fakta yang banyak kita jumpai sekarang ini para pelajar yang mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah banyak sekali melakukan penyimpangan penyimpangan. Mulai dari merokok, minum minuman keras, tawuran pelajar, narkoba bahkan tidak sedikit yang terjerumus kedalam lembah pergaulan bebas.
Tentu menjadi pertanyaan besar, mengapa hal itu bisa terjadi. Ada banyak alternatif jawaban yang bisa diajukan untuk menjawab problem tersebut. Namun jika kita melihat dari sudut pandang institusional maka sudah barang tentu pandangan kita mengarah kepada sekolah. Karena sekolah secara institusi yang bertanggung jawab penuh atas perilaku menyimpang tersebut. Tentu status pelakunya juga tidak bisa dilepaskan dari sebutan pelajar, yaitu orang – orang yang sedang belajar di sekolah.
Pertanyaan yang mestinya dijawab oleh sekolah, apa yang diajarkan disekolah sehingga hal itu bisa terjadi? Mungkin sedikit naif jika kita menanyakan hal tersebut, mengingat secara struktural pemerintah melalui para pakar dan ahli pendidikan telah merumuskan kurikulum yang begitu sempurna, setelah mengalami penyesuaian yang cukup panjang. Sampai sekarang yang terbaru akrab kita dengar dengan sebutan kurikulum 2013 yang isinya syarat dengan penanaman nilai pendidikan karakter. Namun sejauh inipun hasil yang dicapai belum juga bisa mewujudkan para pelajar yang berkarakter seperti tujuannya. Sedikit alasan dari pemerintah melalui menteri pendidikannya karena ini belum di terapkan secara merata.
Jika kita berkaca pada sistem pendidikan yang dilaksanakan pada masa dahulu, walaupun dengan proses yang sangat sederhana ternyata mampu menanamkan nilai-nilai luhur dari pendidikan. Sebagai sebuah contoh nilai kedisiplinan. Kita tidak bisa pungkiri bahwa penanaman kedisiplinan pada pendidikan masa dulu jauh lebih baik dan berhasil daripada hasil yang dicapai saat ini. Walaupun penerapannya memang sedikit keras dan mungkin seandainya itu masih dilakukan sekarang akan muncul protes keras dari berbagai pihak dengan memunculkan istilah baru “premanisme pendidikan”.
Perubahan-perubahan yang terjadi secara perlahan mulai terasa mengikis nilai-nilai dan budaya yang telah diwariskan sejak dahulu oleh guru-guru kita pada generasi awal. Nilai-nilai kesopanan, hormat-menghormati, tenggang rasa, kepedulian, kasih sayang, semangat seperti hilang ditelan masa. Ada rasa sedih ketika melihat adik-adik kita sekarang, etika terhadap guru tidak lagi dipedulikan, tenggang rasa, peduli dan kasih sayang sesama teman mulai luntur, semangat belajar pun sangat menurun. Maka, tidak heran ketika muncul bullying dan berbagai tingkah negatif lainnya terjadi di dalam sekolah. Entah dimana letak putusnya mata rantai tradisi baik dari pendidikan kita.
Mencoba melihat secara jernih mungkin inti permasalahannya bukan pada sistem, karena seperti diketahui bahwa sistem pendidikan kita telah dirancang dengan begitu baik. Segala aspek penting dalam penanaman nilai karakter dan moral menjadi prioritas untuk diterapkan. Bahkan setiap detail dari tahapan dan langkah langkah dalam kegiatan belajar pembelajaran harus memiliki nilai karakter yang harus dijiwai oleh siswa. Namun tetap saja hasil yang diharapkan dari sistem yang dirancang sempurna tersebut selalu menyimpang. Nilai boleh saja digambarkan dengan nilai dan predikat tinggi tapi kering karakter.
Ada indikasi bahwa letak masalahnya adalah pada pemeran atau aktor yang menjalankan proses-proses transformasi nilai budaya melalui pendidikan di sekolah. Aktor yang dimaksud tentu adalah guru. Melihat fenomena dunia pendidikan kita sekarang ini, tampak ada pergeseran nilai yang sangat jauh. Orientasi guru kini tidak lagi pada posisi menjalankan tugas mulia untuk menanamkan karakter dan nilai-nilai moral melainkan sudah bergeser kepada orientasi pekerjaan. Sehingga ketika orientasi tersebut mulai berubah maka “guru” hanya menjalankan fungsi sebagai pengajar sedangkan kewajiban untuk mendidik menjadi terabaikan. Sekolah – sekolah kita menjadi kekurangan guru.
Mentalitas diri guru sebagai pendidik perlu mendapat perhatian lebih. Guru merupakan figur yang paling penting dan sangat berpengaruh pada keberhasilan program pendidikan. Guru sejatinya adalah “role model” yang akan menjadi contoh bagi para pelajar. Guru tidak hanya mengajarkan nilai-nilai tapi juga mendidik. Dan salah satunya dengan memberikan keteladanan yang baik bagi murid-muridnya sehingga dapat memunculkan pribadi guru sejati yang bisa “digugu dan ditiru”.