Drama Islah: Mitos Palsu untuk Mengelabui Rakyat

-M. Zainul Asror-

social development and walfare – UGM

golkar-kampanye

Pertanyaan besar yang tentunya patut kita tanyakan kepada diri kita sendiri sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Bagaimana sebenarnya kita memahami pancasila sebagai ideologi yang kita anut?? Sudahkah kita mencoba mengamalkan nilai-nilai pancasila??

Sebagai bahan renungan mari kita coba perhatikan salah satu sila dari pancasila. Pada sila ketiga berbunyi “Persatuan Indonesia”, dua kata yang sangat sederhana dan mudah dimengerti, tidak akan memunculkan makna ganda bagi siapapun yang mencoba mengartikan kedua kata tersebut. Pada tingkatan pemahaman siswa sekolah dasar, ketika kita baru belajar pancasila artinya pun tetap sama tidak pernah ada perubahan sedikitpun. Bahwa kita sebagai bangsa Indonesia adalah sebuah persatuan, ikatan erat yang semestinya tidak boleh ada perpecahan dalam kondisi apapun. Perbedaan merupakan sebuah keniscayaan tapi tidak lantas kemudian dengan perbedaan itu menjadi alasan kita untuk terpecah belah.

Apa yang terjadi sekarang ini mungkin memang sudah terjadi cukup lama namun tidak pernah kita sadari atau mungkin pura-pura tidak sadar. Sikap dan prilaku kita masih jauh dari mencerminkan nilai-nilai persatuan. Sedikit saja perbedaan pendapat harus diakhiri dengan perpecahan. Mulai dari level masyarakat akar rumput, organisasi kepemudaan, organisasi masyarakat sampai pada tataran partai politik bahkan lembaga tinggi Negara setingkat DPR semua sama. Ketika merasa pendapatnya tidak terakomodir atau hasrat untuk berkuasa tidak bisa tersalurkan maka, masing-masing akan berlomba-lomba membentuk organisasi baru, partai baru, atau tetap dengan wadah yang sama namun membentuk pengurus tandingan yang satu sama lain saling mengklaim diri yang sah. Nilai-nilai nation buiding yang telah lama dirajut para pendiri bangsa ini seakan tidak ada harganya lagi.

Saya ingin menyoroti dinamika perkembangan partai politik di Indonesia dan secara lebih khusus pada partai Golkar. Dalam beberapa bulan terakhir hampir setiap hari kita selalu membaca dan menyaksikan pemberitaan tentang partai Golkar, baik di media cetak ataupun elektronik. Mulai dari sejak perselisihan antara ketua umumnya Abu Rizal Bakrie dan Agung Laksono, terbentuknya dua kubu yang menghasilkan munas Bali dan munas Ancol yang saling mengklaim diri sebagai pengurus yang sah dan saling beradu siapa yang menang di pengadilan. Terakhir, tak lupa drama islah kedua kubu untuk menghadapi pemilukada serentak.

Membaca fenomena tersebut kita tentu sepakat bahwa sistem perpolitikan kita masih belum matang. Para elite dan kader partai masih mendahulukan kepentingan pribadi untuk berebut kuasa dari pada bersinergi satu sama lain untuk menjalankan visi misi memajukan bangsa. Partai Golkar sebagai generasi awal partai politik di Indonesia diharapkan bisa menjadi role model pengelolaan partai politik yang baik. Perjalanan panjang partai Golkar mengarungi samudra perpolitikan Indonesia selama hampir setengah abad semestinya bisa membawa menuju kedewasaan berpolitik. Sehingga bisa menggambarkan wajah politik kita yang demokratis dan bisa menyelesaikan permasalahan dengan asas musyawarah dan mufakat.

Sangat kontradiktif dengan apa yang disajikan kepada publik, drama perebutan kursi kuasa partai dengan backing dukungan massa masing-masing, terpecah sampai tingkat daerah. Mekanisme penyelesaian konflik internal partai secara demokratis melalui musyawarah tidak terlaksana seperti yang diharapkan. Mahkamah partai sebagai pengadil tertinggi internal pun tidak bisa berbuat banyak. Nilai-nilai persatuan mulai diabaikan begitu saja dan ego masing-masing ditunjolkan sehingga secara tidak langsung memberikan pelajaran penting kepada para simpatisan partai dan rakyat bahwa perpecahan adalah hal yang wajar dan sah dilakukan. Maka menjadi sebuah kewajaran juga ketika simpatisan partai politik pada tataran akar rumput begitu mudah tersulut untuk bertikai.

Ketika gagasan islah muncul menjadi sebuah berita gembira sekaligus harapan bahwa kedua kubu telah menyadari kesalahan masing-masing dan bersedia berdamai. Namun, sangat sulit diterima oleh akal sehat bahwa gagasan islah bukan semata karena bersepakat untuk mengakhiri konflik melainkan hanya untuk menyelamatkan peluang mengikuti pemilukada yang akan segera digelar secara serentak. Pemberitaan tentang islah partai Golkar menjadi jualan media, padahal dibelakangnya ada embel-embel “sementara”. Sikap yang sangat buruk bagi partai golkar sebagai salah satu indikator partai pelaksana sistem demokrasi Indonesia bisa bertidak seperti itu. Islah yang dilakukan bukan islah yang sebenarnya tapi hanya islah sementara untuk merebut kuasa, menjual mitos palsu untuk mengelabui rakyat agar memilih mereka.

Menjadi sebuah keprihatinan sebagai rakyat Indonesia bahwa dinamika partai politik hanya sebatas ajang berebut kuasa dan melampisakan syahwat politik tanpa diimbangi dengan pelaksanaan nilai-nilai moral dan etika dalam berpolitik. Boleh saja dalam visi misi partai politik ditampilkan gagasan-gagasan cerdas dengan kata-kata manis yang memukau untuk membangun dan mensejahterakan Indonesia. Namun, apa artinya jika visi misi itu hanyalah jargon yang diteriakkan tapi nihil dalam pelaksanaan. Dan satu hal yang terpenting dan perlu diingat bahwa bagaimana mungkin membangun dan mensejahterakan Indonesia bisa terwujud jika ide-ide pertikaian itu masih dipelihara.

Add a Comment

Your email address will not be published.