Konflik Tambang Semen di Rembang Jawa Tengah

-M. Zainul Asror-

social development and walfare – UGM

Pasal 33 ayat 3 UUD 1945

“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”

Mobil-besar-bermuatan-adukan-Semen-hilir-mudik-melewati-tenda-perjuangan-warga.-Photo-by-Tommy-Apriando.Tidak perlu bertanya lagi tentang bagaimana kekayaan alam Indonesia yang sangat berlimpah. Dari Merauke di ujung timur Papua sampai Sabang di ujung barat Pulau Sumatera, terbentang sumber daya alam nan luas. Menjadi sebuah harapan besar, keadaan alam yang menguntungkan itu bisa membawa kesejahteraan bagi segenap rakyat Indonesia dengan adil tanpa ada pengecualian.

Pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam telah diatur dalam undang-undang dasar 1945, pasal 33 ayat 3 yang berbunyi “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Jika dapat ditafsirkan secara kasar maka tidak ada izin bagi siapapun untuk dapat memonopoli dan menguasai sumber daya alam untuk kepentingan pribadi ataupun golongan. Segala bentuk pengelolaan kekayaan Indonesia diatur oleh Negara yang kemudian hasilnya akan didistribusikan untuk kemaslahatan dan kemakmuran rakyat.

Dengan undang-undang yang telah dengan tegas memberikan rule dalam pengelolaan sumberdaya alam, jika bisa dijalankan dengan baik maka semestinya rakyat Indonesia mempunyai satu jaminan kesejahteraan bagi keberlangsungan hidup bagi dirinya maupun anak cucunya kemudian. Namun keadaan menjadi begitu bias ketika Negara sebagai pemegang mandat utama dalam mengelola sumberdaya alam justru menjalankan perekonomian ganda, perekonomian kapitalis dengan topeng ekonomi pancasila. Hak penuh Negara ternyata bisa dialihkan kepada sektor-sektor swasta dengan modal besar ataupun dijalankan oleh badan-badan usaha yang dibentuk oleh pemerintah sendiri dalam hal ini kita kenal dengan sebutan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Keberadaan sektor swasta ataupun BUMN yang mendapat hak pengelolaan sumberdaya alam menjadikan “kemakmuran rakyat” seakan terabaikan. Partisipasi rakyat untuk ikut serta mengelola sumberdaya alam tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah sehingga menimbulkan ketidaksejahteraan rakyat.

#Gejolak Pendirian Pabrik Semen di Rembang, Jawa Tengah

Pada tahun 2006 PT SEMEN GRESIK berencana untuk membangun pabrik di Kecamatan Sukolilo, Pati, Jawa Tengah. Warga Sukolilo yang dikenal sebagai penganut ajaran SAMIN melakukan penolakan keras terhadap rencana tersebut karena dianggap akan mengancam pertanian dan mata air sebagai sumber penghidupan mereka. Akhirnya pada tahun 2009 orang-orang SAMIN berhasil memenangkan gugatan terhadap PT SEMEN GRESIK di PTUN sampai MA.

Penolakan yang terjadi di Sukolilo tidak menghentikan langkah PT SEMEN GRESIK mencari tempat sebagai lokasi untuk mendirikan pabrik baru. Pencarian mereka akhirnya berbuah hasil pada tahun 2009. Perusahaan BUMN yang sekarang berganti nama menjadi PT Semen Indonesia itu menemukan lokasi baru di Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang. Berbeda dengan kasus di Kecamatan Sukolilo, rencana pendirian pabrik di desa Tegaldowo berjalan cukup mudah, walaupun ada muncul penolakan tapi sebagian masyarakat menyambut gembira bahkan sudah bersedia melepaskan lahan pertanian mereka untuk dijadikan tambang semen. Bahkan Gubernur Jawa Tengah saat itu Bibit Waluyo mendukung penuh investasi dari PT Semen Indonesia itu.

Pada waktu PT Semen Indonesia berhasil masuk dan memulai peletakan batu pertama pendirian pabrik pada tanggal 16 Juni 2014. Gejolak muncul, sebagian masyarakat Gunem yang tidak setuju pendirian pabrik melakukan pemblokiran jalan menuju lokasi tambang sehingga menimbulkan kericuhan masyarakat yang sebagian besar ibu-ibu dengan aparat Kepolisian dan TNI yang menjaga lokasi. Sejak peristiwa tersebut warga mendirikan tenda dan menggelar doa bersama di tapak pabrik.

Penolakan dari masyarakat pada awalnya di lakukan oleh hanya sekitar 6 orang warga, itu dilakukan pada akhir tahun 2011. Pada tahun 2012 ketika AMDAL PT Semen Indonesia keluar barulah warga Gunem melakukan perlawanan secara massif. Seorang tokoh pemuda petani rembang menceritakan bahwa, ketika mereka masih sedikit yang melakukan penolakan sering kali mereka mendapat intimidasi baik dari polisi, TNI, preman bahkan pemerintah desa. Mereka mendapat ancaman penculikan bahkan pembunuhan. (film dokumenter : SAMIN vs SEMEN)

Beberapa hari yang lalu, jumat 20 maret 2014, puluhan massa dari masyarakat petani Rembang dan aktivis Aliansi Mahasiswa peduli Rembang datang menggeruduk ke Universitas Gadjah Mada (UGM). Mereka melakukan protes atas kesaksian 2 orang dosen Fakultas Geografi yang bertindak sebagai saksi ahli untuk PT Semen Indonesia. Mereka memberikan kesaksian bahwa kawasan Karst Bukit Kendeng memang layak untuk dijadikan tambang. Perseteruan antara warga masyarakat Rembang dengan PT Semen Indonesia dan Gubernur jawa Tengah sebagai pemberi izin untuk melakukan penambangan terus berlanjut dan menunggu sidang putusan dari PTUN Semarang.

#Analisa Teoritis Kasus

Untuk dapat memahami secara komprehensif konflik Semen Rembang ini maka harus mempunyai penjelasan teoritis yang cukup kuat dan relevan. Kami mencoba mulai mengurai kasus ini dengan sebuah pendekatan dalam teori pembangunan.

Perkembangan industrialisasi yang semakin maju merupakan sebuah konsekuensi dari berlangsungnya program pembangunan di Indonesia. Pembangunan dalam konteks Indonesia mulai digalakkan pada masa orde baru, ketika itu presiden Soeharto dalam kebijakannya yang kita kenal dengan program REPELITA dan PELITA banyak mengadopsi dari teori pertumbuhan ekonomi Rostow, seorang ekonom Amerika Serikat. Rowstow melihat perubahan sosial, yang disebutnya sebagai pembangunan, sebagai proses evolusi perjalanan dari tradisional ke modern[1]. Pada dasarnya teori pembangunan yang dicetuskan oleh Rostow adalah strategi untuk menghalau kekuatan dan pengaruh ekonomi sosialis oleh karenanya teori ini sangat kental dengan nuansa kapitalismenya.

Berakhirnya rezim orde baru yang ditandai dengan reformasi ’98 ternyata tidak mampu merubah secara penuh struktur perekonomian Indonesia. Ideologi pembangunan orde baru yang berusaha merubah masyarakat tradisional agraris menjadi industrialisasi modern, masih melekat kuat dan berpengaruh pada era reformasi ini. Bahkan perkembangan industrialisasi dalam pembangunan Indonesia sangat tergantung kepada pasar dan para pemodal besar. Lebih lanjut Fakih menjelaskan, Seperti pandangan Rostow dan pengikutnya, development akan berjalan secara hamper otomatis melalui akumulasi modal (tabungan dan investasi) dengan tekanan bantuan dan hutang luar negeri. Dia memfokuskan pada perlunya elite wiraswasta yang menjadi motor proses itu.[2]

Dalam kasus konflik pendirian pabrik PT Semen Indonesia di Rembang ini, dengan dasar teori pertumbuhan ekonomi tersebut, pemerintah mencoba menyelesaikan masalah-masalah sosial terkait dengan kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah mempunyai asumsi kuat bahwa jika pembangunan tambang ini sudah beroperasi maka akan berdampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat. Seperti kutipan pernyataan Bupati Rembang sebagai berikut:

“Lebih dari tiga triliun rupiah dikucurkan PT Semen Indonesia untuk membangun pabrik di sini. Pasti nantinya akan membawa kesejahteraan warga,” katanya.

Keberadaan pabrik semen di Tegaldowo diperkirakan secara langsung menyerap sekitar 3.500 pekerja, yang sebagian besar bakal direkrut dari angkatan kerja sekitar pabrik.

Berdirinya pabrik tentu akan mendorong tumbuhnya sektor usaha lain sehingga jumlah tenaga kerja yang terserap bakal berlipat sehingga, menurut Bibit, akan meningkatkan kesejahteraan warga.[3]

Tujuan pemerintah dalam menjalankan kebijakan tersebut “mempunyai tujuan mulia” untuk menyediakan lapangan kerja, mengentaskan kemiskinan, dan mensejahterakan masyarakat. Kebijakan ini dikenal dengan sebutan “Tricle Down Effect”, yang secara sederhana bisa kita artikan sebagai kebijakan yang memusatkan pengembangan ekonomi kepada para pemilik modal dengan harapan ketika mereka berhasil maka akan berdampak positif terhadap sekitarnya, seperti penyerapan tenaga kerja dan sebagainya.

Kebijakan “trickle down effect” pada prinsipnya merupakan kebijakan yang memposisikan para kaum berpunya sebagai kelas yang diutamakan dalam hal menggerakkan perekonomian suatu bangsa. Dengan dibukanya akses dan pendanaan secara menyeluruh terhadap segala aktivistas maka investasi domestik diharapkan akan berjalan dan berlipat dengan semakin gencarnya fokus pada sektor bisnis infrastruktur serta pasar keuangan sehingga pada gilirannya skema ini akan menciptakan sebuah struktur kapasitas produksi yang meningkat. Produksi yang menggeliat akan menggiring harga-harga pada tingkat yang lebih rendah dan menciptakan lapangan kerja untuk para kelas menengah dan menengah kebawah.[4]

Secara etika pembangunan ekonomi tidak ada yang keliru dengan kebijakan tersebut. Bahwa ketika pabrik semen yang dibangun mulai beroperasi maka seperti disebutkan diatas, sekitar 3500 tenaga kerja yang akan terserap yang tentu diambil dari masyarakat sekitar pabrik. Selain itu persumbuhan sektor usaha lain bisa tumbuh dengan keberadaan pabrik tersebut.

Argumen pembanding muncul dari masyarakat Rembang yang menolak tegas keberadaan tambang semen. Dengan didukung oleh WALHI, mereka mengemukakan bahwa keberadaan tambang semen tersebut akan sangat berdampak besar terhadap kerusakan lingkungan. Sumber sumber mata air sebagai penghidupan masyarakat akan hilang dan tentu akan mematikan lahan pertanian sebagai mata pencaharian utama masyarakat. Karena konsep pembangunan yang ideal harusnya mempertimbangkan keberlanjutan sumberdaya untuk masa depan.

World Commission on Environment and Development (WECD), sejak tahun 1987 memberikan deskripsi dari Pembangunan Berkelanjutan sebagai berikut: “Sustainable development is development that meets the needs of present generations without compromising the ability of future generations to meet their own needs. “

“(Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka).”[5]

Menjadi sebuah harapan besar para petani Rembang ketika pertanian sebagai lahan garapan sebagai jaminan penghidupan mereka bisa tetap produktif dan kedepan bisa mereka wariskan kepada anak cucu mereka. Seperti ungkapan salah seorang warga: “Sejak nenek moyang, kita butuh tanah, air, dan pangan, tidak butuh semen. Daripada krisis pangan lebih baik krisis semen. Sejak bayi lahir butuh tanah, air, dan pangan tapi kalau untuk membangun hanya orang berduit yang kaya, kalau orang desa rumah bambu sudah cukup, yang penting bisa makan.”[6]

__________________

[1] Mansour Fakih.2001.Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi hal.55

[2] ibid

[3] http://jateng.antaranews.com/detail/pabrik-semen-senilai-rp37-triliun-masuk-rembang.html diakses 26/3/15

[4] https://kifbi.wordpress.com/2008/05/26/mengoptimalkan-kebijakan-trickle-down-effect/ diakses 26/3/15

[5] Julissar An-Naf, Pembangunan Berkelanjutan dan Relevansinya untuk Indonesia, Jurnal Madani Edisi II/Nov.2005

[6] Film documenter SAMIN vs SEMEN, Penolakan masyarakat samin terhadap Semen Gresik di PATI

One Comment

Add a Comment

Your email address will not be published.